Senin, 08 Oktober 2018

Nyiar Lumar Harus Dilestarikan

KAWALI,- Ratusan warga Tatar Galuh Ciamis menghadiri Upacara Adat Nyiar Lumar yang dilaksanakan di Situs Astana Gede tempat pemakaman Raja Galuh di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Sabtu (28/7/2018).
Dalam kegiatan ini, banyak kesenian tradisional Ciamis yang memeriahkan even dua tahunan ini seperti, Calung Sekar Hanjuang, Ginjring Ronyok, Karinding Nyengsol, Sanggar Pacikrak, Tutunggulan Goropak, Sang Hyang Jaran Bali, sejarah Perang Bubat dan ditutup dengan Ronggeng Gunung Bi Raspi.

Even diselenggarakan oleh para pelaku seni Ciamis, mahasiswa serta Pemerintah Kabupaten Ciamis, salah satu pencetusnya adalah Budayawan Sunda, Godi Suwarna yang nuga merupakan sastrawan Internasional asal Ciamis.
Upacara Nyiar Lumar yang diegar sejak sejak 20 tahun lalu, tahun ini diikuti oleh budayawan dan seniman dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Bali, Cirebon, Karawang, Bandung, Subang, Garut, dan lainnya. 
Kordinator Kegiatan Nyiar Lumar, Didon Nurdanu menjelaskan, Nyiar Lumar mengandung arti dari dua kata dalam Bahasa Sunda, Nyiar artinya mencari dan Lumar adalah sejenis jamur yang tumbuh di tunggul pohon bambu yang pada malam hari terlihat bercahaya.
"Jadi Nyiar Lumar ini memiliki makna berjalan mencari cahaya, yang artinya dalam kehidupan harus berjuang untuk mencari kehidupan yang sejahtera," jelasnya.
Didon berharap, Nyiar Lumar ini dapat menarik para wisatawan ke Ciamis agar mengenal dan mengetahui berbagai ragam kesenian di Ciamis. Termasuk mengenal Situs Astana Gede Kawali.

"Mudah-mudah dalam kegiatan ini bisa menarik wisatawan luar untuk datang ke Astana Gede Kawali, dan mengenal kesenian dan kebudayaan yang ada di Ciamis," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Pemuda Dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Ciamis, H. Max Sopyan mengatakan, Ciamis memiliki keanekaragaman budaya dan kesenian, baik warisan sejarah maupun warisan tak benda. 
"Warisan budaya Ciamis ini harus kita lestarikan, bangun dan dimanfaatkan di Tatar Galuh Ciamis, salah satunya dengan Upacara Nyiar Lumar ini," katanya.

Dia berharap, dengan Nyiar Lumar ini dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap seni dan budaya sebagai salah satu warisan.
"Kita harus tumbuhkan rasa memiliki terhadap seni dan budaya pada diri kita, karena ini merupakan suatu warisan dari sesepuh kita," pungkasnya. (Aldi/Andik ST - ciamiszone.com)

Patilasan Penyebar Islam di Desa Kawali

Patilasan Eyang Sacapada. Situs Pasarean Banjarwaru Desa Kawali
Kawali, sebuah tempat dengan nama yang melegenda. Kawali pernah tercatat sebagai Pusat pemerintahan kerajaan Galuh sejak tahun 1333 M sampai dengan 1482 M. Nama Kawali disebut pada dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Niskala Wastukancana yang tersimpan di situs Astana Gede Kawali. Prasasti tersebut menyebut dan “nu ngeusi bhagya Kawali” (yang mengisi Kawali dengan kebahagiaan).
Dalam sejarahnya, Kawali telah melahirkan raja-raja besar yang memerintah tatar Sunda-Galuh. Mereka diantaranya, Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi), Niskala Wastu Kencana (Prabu Wangisutah) dan Prabu Jaya Dewata (Sribaduga Maharaja atau Prabu Siliwangi).
Pada tahun 1482 masehi, Jaya Dewata dinobatkan sebagai Raja Galuh di karaton Surawisesa Kawali sebagai purasaba (pusat kota) kerajaan Galuh. Pada tahun yang sama, Jayadewata di Purasaba Pakuan dinobatkan sebagai Raja Sunda menggantikan pamannya sekaligus mertua, yaitu Prabu Susuk Tunggal.
Setelah menyandang jabatan Raja dari dua kerajaan besar –Galuh dan Sunda, Prabu Jaya Dewata (Sribaduga Maharaja/Prabu Siliwangi) memilih menetap di Pakuan. Dengan begitu Pakuan menjadi Purasaba Sunda-Galuh dan kemudian berganti nama menjadi Pakuan Pajajaran.
Setelah Prabu Jaya Dewata/ Prabu Siliwangi memindahkan pusat kekuasaanya ke Pakuan, Kerajaan Galuh di Kawali hanya menjadi sebuah kandaga lante (kerajaan bawahan).
Kawali kemudian diperintah oleh Sang Ningratwangi pada tahun 1482 – 1507 M. Setelah Ningratwangi wafat, kemudian diteruskan putranya Prabu Jayaningrat pada tahun 1507 – 1529 M.

Situs Penyebar Islam di Kawali 

Ketika tahun 1529 M Kerajaan Galuh ( Kawali ) tunduk pada kesultanan Cirebon. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) menempatkan Dalem Dungkut (1529 – 1575 M), anak Prabu Langlang Buana (Raja Kuningan), menggantikan Prabu Jayaningrat (penguasa terakhir Kerajaan Galuh Kawali) untuk memerintah dan menyebarkan Agama Islam di Kawali.
Pada masa inilah menjadi permulaan masuknya Islam di daerah Galuh-Kawali.

a. Patilasan Mas Palembang 

Setelah Dalem Dungkut wafat, Pangeran Bangsit atau Mas Palembang ( 1575 – 1592 M ) melanjutkan pemerintahan serta meluaskan ajaran agama Islam di daerah Kawali.
Pangeran Bangsit adalah putra Dalem Dungkut. Pangeran Bangsit wafat pada tahun 1592 M dan dimakamkan disebuah tempat yang kini dikenal dengan situs Makam Keramat Mas Palembang. Selanjutnya pemerintahan dan penyebaran agama Islam dilakukan oleh Pangeran Mahadikusumah atau dikenal dengan gelar Maharaja Kawali pada tahun 1592 – 1643 M.
Pangeran Mahadikusumah adalah putera Pangeran Bangsit cucu dari Dalem Dungkut. Beliau adalah salah satu ulama yang dipercaya Kesultanan Cirebon. Pada masa ini, dari Kawali Islam kemudian menyebar ke daerah sekitar lainnya.

b. Patilasan Astana Gede 

Kawali dibawah kekuasaan Kesultanan Cirebon dan penyebaran agama Islam, memberikan perubahan cukup besar pada Kondisi dan situasi wilayah serta penduduk Kawali. Seperti halnya keberadaan situs Linggahyang (Astana Gede Kawali), pada mulanya merupakan situs dengan Prasasti peninggalan Kerajaan Galuh pada masa Prabu Niskala Wastu Kancana, kemudian berbaur dengan makam para penyebar Agama Islam di Kawali.
Ada 11 buah makam di, situs Astana Gede. Yang pertama adalah Makam Pangeran Usman. Makam ini panjangnya 2,93 m. Pangeran Usman adalah keturunan Sultan Cirebon, menantu Maharaja Kawali (Pangeran Mahadikusumah), yang memerintah Kawali tahun 1592-1643 M.
Pangeran Usman adalah salah seorang penyebar Islam di daerah Kawali. Makam lainnya adalah Makam Adipati Singacala, terletak di bagian atas punden berundak.
Dalem Adipati Singacala menjadi Bupati Kawali pada tahun 1643- 1718 M, Ia juga salah satu tokoh penyebar Islam di Kawali. Adipati Singacala adalah cicit Pangeran Bangsit atau Mas Palembang (ayah Maharaja Kawali). Ia menikahi Nyi Anjungsari, putri Pangeran Usman. Nyi Anjungsari pun dimakamkan di Situs Astana Gede.
Setelah Adipati Singacala wafat pada tahun 1718 M, pemerintahan dan penyebaran Islam kemudian dilanjutkan oleh Dalem Satia Meta / Darma Wulan pada tahun 1718 – 1745 M. Ia adalah anak dari Adipati Singacala.
Dalem Satia Meta / Darma Wulan dimakamkan di Astana Gede, berdekatan dengan makam adiknya yaitu Baya Nagasari. Serta masih ada beberapa makam lain yang dianggap keramat diantaranya makam Cakra Kusumah (seorang guru mengaji pada zaman Adipati Singacala), Eyang Sancang (salah seorang pengawal dan penjaga keamanan kabupatian Kawali).
Di samping itu, ada 3 makam Kuncen Astana Gede (Angga Direja, Yuda Praja, Sacapraja), dan makam Surya Wiradikusumah.

c. Patilasan Selapajang 

Selepas masa Dalem Satia Meta / Darma Wulan ( 1718 – 1745 M ), pemerintahan dan penyebaran Islam di Kawali kemudian dilanjutkan oleh Rd. Adipati Mangkupraja I ( 1745 – 1772 M ). Adipati Mangkupraja I wafat dan dimakamkan di Selapajang.

d. Patilasan Gunung Indrayasa 

Kemudian dilanjutkan Rd. Adipati Mangkupraja II (1772 – 1801 M) dan Rd. Adipati Mangkuparaja III (1801 – 1810 M) dan diteruskan oleh Suradipraja I dan Suradipraja II. Mereka kemudian dimakamkan di Gunung Indrayasa.
Disamping itu, terdapat pula beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh pada masanya.
Diantaranya Eyang Sacapada, Eyang Mas Bagus dan Eyang Japar Sidik.

e. Patilasan Pasarean 

Eyang Sacapada diyakini sebagai salah satu penyebar islam di Kawali. Eyang Sacapada dimakamkan di sebuah kawasan yang dinyatakan sebagai kawasan ekosistem esensial atau kawasan Perlindungan Setempat, dikenal dengan Situs Makam Keramat Pasarean, berdampingan dengan istrinya yaitu Ibu Andayasari.
Situs Makam Keramat Pasarean terletak di dusun Banjarwaru desa Kawali dengan luas kawasan mencapai 1,10 Ha.

f. Patilasan Gandok 

Sementara, tak jauh dari kawasan Situs Makam Keramat Pasarean, tepatnya di sebuah lingkungan yang disebut Gandok, terdapat sebuah makam keramat.
Di situs makam keramat ini disemayamkan salah satu tokoh yang dianggap paling muda dari tokoh-tokoh lainnya. Beliau dikenal dengan panggilan Eyang Mas Bagus.
Meskipun dikenal termuda diantara tokoh-tokoh penyebar Islam sezaman dengan Eyang Sacapada, Eyang Mas Bagus juga diyakini memiliki pengaruh yang sama dengan yang lain.

g. Patilasan Japar Sidik 

Diantara makam keramat yang ada di Desa Kawali, satu lagi yang dianggap berpengaruh pada zamannya adalah Situs Makam Keramat Japar Sidik.
Di makam yang letaknya dipinggir jalan raya yang mengabadikan namanya, dipusarakan salah satu tokoh yang sezaman dengan Eyang Sacapada dan juga Eyang Mas Bagus. Ia dikenal dengan nama Eyang Japar Sidik.
Menurut riwayat, Eyang Japar Sidik adalah salah seorang Penyebar Islam dengan mendirikan sebuah surau sebagai tempat belajar mengaji dan kanuragan anak-anak Kawali pada masa itu.

Jumat, 28 Agustus 2015

KARINDING KAWALIAN

Sebuah Proses Pencarian Bentuk

Karinding kini dikenal kembali oleh masyarakat terutama kalangan anak muda dan musisi. Diantaranya beberapa karya musisi-musisi tahun 1980 dan 1990an. Karya musik Harry Roesli yang sepanjang lagu menampilkan permainan karinding dalam aransemen musik rock balada penuh protes yang ia ciptakan. Karinding juga dapat kita nikmati dalam intro lagu “Semusim” yang dinyanyikan oleh Chrisye bersama Waljinah. Selain itu musisi Doel Sumbang juga pernah menampilkan permainan karinding dalam lagu yang berjudul Bong Abong.
Setelah terlupakan sekian lama, kini, berkat peran komunitas metal scene Bandung seperti komunitas Ujungberung Rebel yang mana beberapa personil dari band beraliran cadas berinisiatif membentuk sebuah grup musik tradisi bernama Karinding Attack pada tahun 2009 dengan memainkan alat-alat kesenian sunda buhun yang salah satunya adalah karinding. Kini karinding kembali dikenal masyarakat.
Di Sunda, karinding disebutkan setidaknya digunakan oleh masyarakat saat melepas kepergian rombongan pengantin Putri Dyah pitaloka ketika hendak berangkat ke Majapahit. Sekitar masa Prabu Maharaja Linggabuana memerintah kerajaan Sunda Galuh di Kawali (Ciamis Utara) pada abad ke 12 Masehi.
Karinding dipercaya pada awalnya digunakan masyarakat sebagai alat untuk mengusir kejenuhan saat menunggu huma (ladang) ataupun sawah. Karena memiliki karakter suara yang khas maka karinding dipercaya dapat menjadi media komunikasi dengan hama agar tak mengganggu tanaman padi. Bahkan hal ini masih dilakukan oleh beberapa masyarakat adat di Sunda hingga saat ini.
Pada masa lalu. Karinding pun digunakan sebagai media komunikasi bagi orang tua dan jabang bayi yang ada dalam kandungan. Hal ini konon diyakini dapat merangsang respon sang jabang bayi, dan bisa menumbuhkan kecerdasan dan kreatifitas sang jabang bayi kelak.
Kawali. Merupakan salahsatu pemukiman tertua di Jawa Barat terletak di Ciamis bagian utara, tempat yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Sunda Galuh selama 5 generasi, dengan bukti sejarahnya yaitu Situs Linggahiang atau Astana Gede Kawali.
Disinilah tumbuh dan berkembang komunitas beberapa kesenian tradisi juga kontemporer. Event kesenian pun rutin digelar, seperti Nyiar Lumar setiap 2 tahun sekali. Dalam event Nyiar Lumar, selalu ditampilkan berbagai kesenian baik tradisi atau pun kontemporer. Seni Rupa, Musik, Tari dan Teater bisa tampil dengan latar belakang panggung alam terbuka dan suasana yang diciptakan agar istimewa.
Ternyata bagi kami, masyarakat kawali dan siapapun yang terlibat langsung dalam event Nyiar Lumar, kemeriahan dan keistimewaan acara ini terletak bukan pada pelaksanaannya, tapi justru pada proses sebelum pelaksanaan acara Nyiar Lumar. Dimana kami berkutat dengan berbagai aktifitas untuk mempersiapkan wilayah pentas yang bukan hanya satu tempat, tetapi meliputi beberapa tempat dengan puncak pagelaran di Situs Linggahiang Astana Gede.
Tahun 2004.  Saat Nyiar Lumar kembali digelar, Kami bertemu dan berkumpul kembali dengan rekan-rekan seperjuangan. Kembali berjibaku mempersiapkan berbagai hal untuk event yang kami banggakan. Saat itu, salah seorang rekan membawa sebuah alat music dari sebilah bambu. Dia menyebutnya Genggong. Disela-sela waktu sengggang, kami mempelajari alat music tersebut, baik memainkan atau bahkan membuatnya.
Selepas Pagelaran Nyiar Lumar 2014, kami tetap mencoba mendalami alat music tersebut. Lambat laun, dari berbagai informasi, dan perjumpaan kami dengan beberapa pengguna karinding diantaranya Abah Oyon di Cineam Tasikmalaya, kami pun mendapatkan bentuk karinding yang kami rasa nyaman untuk dimainkan.
Kami pun terus ngulik dan mencoba berbagai bahan yang bisa di “raut” untuk membuat karinding. Pelepah pohon kawung (aren), bambu haur, waregu, dan berbagai macam bambu yang memiliki ketebalan tertentu adalah beberapa bahan yang pernah kami coba untuk membuat karinding. Hingga pada akhirnya kami memilih bambu bitung (betung). Bahan ini kami pilih karena memiliki ketebalan yang ideal dan kelenturan yang cukup bagus untuk membuat karinding.
Mulailah kami mencoba membuat karinding dalam jumlah yang cukup banyak dan kami sosialisasikan kepada orang-orang disekeliling kami.
Bahkan, suatu ketika kami mendapat pesanan hingga 300 batang karinding untuk dipasarkan kepada anak sekolah sebagai media pembelajaran menabuh karinding di sekolah mereka. Mulai saat itulah, kami berusaha memasarkan karinding ke berbagai kalangan.
Beberapa galeri dan distro merchandise metal membantu kami dalam pemasaran karinding yang kami produksi, diantaranya adalah galeri RAM Sundanese dan Metal Gear di Ciamis.
Dari aktifitas produksi dan pemasaran karinding tersebut, kami menyadari, bahwa ternyata karinding pun memiliki nilai ekonomi dan nilai komersial yang bisa diandalkan jika di tangani dengan serius.


Minggu, 24 November 2013

Karinding Petingan

Karinding "Petingan" (Limited Edition)
Bahan : Bitung & Haur

Karinding "Petingan" (Limited Edition)
Bahan : Bitung (Buku) & Haur (Buku)



Karinding "Petingan" (Ukir Kujang)
Bahan : Bitung & Haur

Karinding "Petingan" (Reguler Minimalis)
Bahan : Bitung Temen