Sebuah Proses Pencarian Bentuk
Karinding
kini dikenal kembali oleh masyarakat terutama kalangan anak muda dan musisi.
Diantaranya beberapa karya musisi-musisi tahun 1980 dan 1990an. Karya musik
Harry Roesli yang sepanjang lagu menampilkan permainan karinding dalam aransemen
musik rock balada penuh protes yang ia ciptakan. Karinding juga dapat kita
nikmati dalam intro lagu “Semusim” yang dinyanyikan oleh Chrisye bersama
Waljinah. Selain itu musisi Doel Sumbang juga pernah menampilkan permainan
karinding dalam lagu yang berjudul Bong Abong.
Setelah
terlupakan sekian lama, kini, berkat peran komunitas metal scene Bandung
seperti komunitas Ujungberung Rebel yang mana beberapa personil dari band
beraliran cadas berinisiatif membentuk sebuah grup musik tradisi bernama Karinding
Attack pada tahun 2009 dengan memainkan alat-alat kesenian sunda buhun yang
salah satunya adalah karinding. Kini karinding kembali dikenal masyarakat.
Di Sunda,
karinding disebutkan setidaknya digunakan oleh masyarakat saat melepas
kepergian rombongan pengantin Putri Dyah pitaloka ketika hendak berangkat ke Majapahit.
Sekitar masa Prabu Maharaja Linggabuana memerintah kerajaan Sunda Galuh di
Kawali (Ciamis Utara) pada abad ke 12 Masehi.
Karinding
dipercaya pada awalnya digunakan masyarakat sebagai alat untuk mengusir
kejenuhan saat menunggu huma (ladang) ataupun sawah. Karena memiliki karakter
suara yang khas maka karinding dipercaya dapat menjadi media komunikasi dengan
hama agar tak mengganggu tanaman padi. Bahkan hal ini masih dilakukan oleh
beberapa masyarakat adat di Sunda hingga saat ini.
Pada masa
lalu. Karinding pun digunakan sebagai media komunikasi bagi orang tua dan
jabang bayi yang ada dalam kandungan. Hal ini konon diyakini dapat merangsang
respon sang jabang bayi, dan bisa menumbuhkan kecerdasan dan kreatifitas sang
jabang bayi kelak.
Kawali.
Merupakan salahsatu pemukiman tertua di Jawa Barat terletak di Ciamis bagian
utara, tempat yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Sunda Galuh
selama 5 generasi, dengan bukti sejarahnya yaitu Situs Linggahiang atau Astana
Gede Kawali.
Disinilah
tumbuh dan berkembang komunitas beberapa kesenian tradisi juga kontemporer.
Event kesenian pun rutin digelar, seperti Nyiar Lumar setiap 2 tahun sekali. Dalam
event Nyiar Lumar, selalu ditampilkan berbagai kesenian baik tradisi atau pun
kontemporer. Seni Rupa, Musik, Tari dan Teater bisa tampil dengan latar
belakang panggung alam terbuka dan suasana yang diciptakan agar istimewa.
Ternyata
bagi kami, masyarakat kawali dan siapapun yang terlibat langsung dalam event
Nyiar Lumar, kemeriahan dan keistimewaan acara ini terletak bukan pada
pelaksanaannya, tapi justru pada proses sebelum pelaksanaan acara Nyiar Lumar.
Dimana kami berkutat dengan berbagai aktifitas untuk mempersiapkan wilayah
pentas yang bukan hanya satu tempat, tetapi meliputi beberapa tempat dengan
puncak pagelaran di Situs Linggahiang Astana Gede.
Tahun 2004. Saat Nyiar Lumar kembali digelar, Kami bertemu
dan berkumpul kembali dengan rekan-rekan seperjuangan. Kembali berjibaku
mempersiapkan berbagai hal untuk event yang kami banggakan. Saat itu, salah
seorang rekan membawa sebuah alat music dari sebilah bambu. Dia menyebutnya
Genggong. Disela-sela waktu sengggang, kami mempelajari alat music tersebut,
baik memainkan atau bahkan membuatnya.
Selepas
Pagelaran Nyiar Lumar 2014, kami tetap mencoba mendalami alat music tersebut. Lambat
laun, dari berbagai informasi, dan perjumpaan kami dengan beberapa pengguna
karinding diantaranya Abah Oyon di Cineam Tasikmalaya, kami pun mendapatkan
bentuk karinding yang kami rasa nyaman untuk dimainkan.
Kami pun
terus ngulik dan mencoba berbagai bahan yang bisa di “raut” untuk membuat
karinding. Pelepah pohon kawung (aren), bambu haur, waregu, dan berbagai macam
bambu yang memiliki ketebalan tertentu adalah beberapa bahan yang pernah kami
coba untuk membuat karinding. Hingga pada akhirnya kami memilih bambu bitung
(betung). Bahan ini kami pilih karena memiliki ketebalan yang ideal dan
kelenturan yang cukup bagus untuk membuat karinding.
Mulailah
kami mencoba membuat karinding dalam jumlah yang cukup banyak dan kami
sosialisasikan kepada orang-orang disekeliling kami.
Bahkan,
suatu ketika kami mendapat pesanan hingga 300 batang karinding untuk dipasarkan
kepada anak sekolah sebagai media pembelajaran menabuh karinding di sekolah
mereka. Mulai saat itulah, kami berusaha memasarkan karinding ke berbagai
kalangan.
Beberapa
galeri dan distro merchandise metal membantu kami dalam pemasaran karinding
yang kami produksi, diantaranya adalah galeri RAM Sundanese dan Metal Gear di
Ciamis.
Dari
aktifitas produksi dan pemasaran karinding tersebut, kami menyadari, bahwa
ternyata karinding pun memiliki nilai ekonomi dan nilai komersial yang bisa
diandalkan jika di tangani dengan serius.